Kisah Burung Gagak
+4
dewie
maruku
~¤•°øñeñG°•¤~
raja ku
8 posters
Halaman 2 dari 2
Halaman 2 dari 2 • 1, 2
Re: Kisah Burung Gagak
klo itu Lenong waktu blom dikutuk ,^^
maruku- Agak Ngaco
- Jumlah posting : 537
Registration date : 04.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
kribo <===ini udah gedenya ya.. lol
raja ku- Ngaco Lho!
- Jumlah posting : 763
Age : 44
Lokasi : didalam kaos kutang
Registration date : 23.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
katanya botak :-S
maruku- Agak Ngaco
- Jumlah posting : 537
Registration date : 04.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
Capek ah NAX gw kaya Pak Tino Sidin jadinya
maruku- Agak Ngaco
- Jumlah posting : 537
Registration date : 04.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
lol kan yg dikutuk yang bawah..jadi yg botak yg bawah..lol lol lol lol
raja ku- Ngaco Lho!
- Jumlah posting : 763
Age : 44
Lokasi : didalam kaos kutang
Registration date : 23.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
gak konsekuen lo ba di forum sebelah... kata nya ga punya jidat :^O
maruku- Agak Ngaco
- Jumlah posting : 537
Registration date : 04.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
lol lol lol
lagian gue dibilang jenong... 8-X grrr grrr grrr grrr
lagian gue dibilang jenong... 8-X grrr grrr grrr grrr
raja ku- Ngaco Lho!
- Jumlah posting : 763
Age : 44
Lokasi : didalam kaos kutang
Registration date : 23.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
mangap...bos.... pis ane pan cuma kata BEDU
nich ane copas ye... :D
capello edu: jadi sapa nich yang kamu pilih...orang2an sawah..homo..mengkong..apa jenong
nich ane copas ye... :D
capello edu: jadi sapa nich yang kamu pilih...orang2an sawah..homo..mengkong..apa jenong
maruku- Agak Ngaco
- Jumlah posting : 537
Registration date : 04.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
lol lol lol lol
elo ngaca aja naxgrrr grrrlol lol
elo ngaca aja naxgrrr grrrlol lol
raja ku- Ngaco Lho!
- Jumlah posting : 763
Age : 44
Lokasi : didalam kaos kutang
Registration date : 23.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
Bis nye nyari burung gagak gak ketemu" lin....
:albino: <====| kayak gini bkn yah
:albino: <====| kayak gini bkn yah
Re: Kisah Burung Gagak
Bukannya burungnya lo umpetin NAX
maruku- Agak Ngaco
- Jumlah posting : 537
Registration date : 04.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
grrr grrr NAX itu peliharaannya LENONG grrr jangan diambil tar dia ga dapet duit
maruku- Agak Ngaco
- Jumlah posting : 537
Registration date : 04.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
hayah... Lin!
,^^ Ja koq aneh pnya Lu bentuknya? koq beda yah?
\p/ waaaak <=====| kayak gini kali neeh burung gagaknya :?
,^^ Ja koq aneh pnya Lu bentuknya? koq beda yah?
\p/ waaaak <=====| kayak gini kali neeh burung gagaknya :?
Re: Kisah Burung Gagak
ahhhh :~((: gw baru baca kisahnya raja :~((: masih sedih..eh komennya bikin ngakak :~((: sebeeelll :~((:
greth_smile- Udah Edan
- Jumlah posting : 1002
Age : 38
Lokasi : depok city
Registration date : 17.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
:~((: :~((: :~((: ga punya bokap..dan gw sering ngomong dengan nada tinggi ke nyokap gw.......hikh,,,
....ekA....yu....- Udah Sinting
- Jumlah posting : 1849
Age : 37
Lokasi : in the arms of the angel
Registration date : 08.11.08
Kota Kelamin
Kota Kelamin
Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku.
Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti
anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti
manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu!
Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang
menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali.
Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada
puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang
rimbun. Ia tertidur.
Pagi menjelang, ketika gelap perlahan
menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin
dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik.
Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk
menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari
mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di
atasnya, bercampur keringat kami.
Matahari membidik tubuhku dan
tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi.
Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan
dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu
halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun,
kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita.
Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di
sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan
seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek
menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang
bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak
bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum
memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang
liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku
berulang-ulang.
Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan
senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin
orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing,
bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya
sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa
jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang
berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.
Aku memetik
sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di
ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku
seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas
kepala putik. Kami tertawa renyah.
Kami sepakat bahwa kelamin
seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang
sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga
warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang
melarang, membatasi, tak juga mengomentari.
Inilah kebahagiaanku
dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga
butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang
melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami
masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur
air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras
mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di
kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa
tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan
celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya.
Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling
memelototi kakus setiap hari.
Kelamin kami memang tak boleh
terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di
dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka
bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika
dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata
manusia.
Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku
heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku
diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang
menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu
kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin
kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami
menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami.
Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat
meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu?
Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan
liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia
menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.
Kami
berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin.
Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat.
Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak
bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu.
Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik
turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak
pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku
dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka
celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik
celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi
ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali
untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua
berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto
ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku
melemparkannya hingga membentur dinding.
Kubuka kaca jendela
ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang
di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak
pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu
gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak
bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang
sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan,
memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba.
Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan
mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur
di atas kakiku sendiri.
Terdengar suara-suara merintih
memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara
kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia
ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu.
Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.
Kami
tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan,
yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan
pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.
Samar-samar
kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia.
Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi
akan dimakan rayap.
Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.
Aku
mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku
bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat
selama ini?
Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara.
Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku
menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di
lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku
ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak
orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku.
Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara
seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun,
suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang
telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini
telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti
belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya.
Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak
lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.
Aku
tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang
meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri
tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan
kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan
kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku
melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan
itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.
Aku
lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu
sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya
tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang
penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.
Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?
Tak
kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya
seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke
arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini
telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya
menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu,
memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.
Matanya
menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang
sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah.
Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan
dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota.
Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan
orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia
menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang
puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin.
Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***
Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku.
Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti
anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti
manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu!
Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang
menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali.
Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada
puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang
rimbun. Ia tertidur.
Pagi menjelang, ketika gelap perlahan
menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin
dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik.
Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk
menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari
mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di
atasnya, bercampur keringat kami.
Matahari membidik tubuhku dan
tubuhnya. Seperti kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi.
Wangi birahi tubuh kami. Pacarku masih mendengkur. Aku memperhatikan
dadanya yang naik turun berirama, yang di atasnya dibubuhi bulu-bulu
halus. Aku memainkan bulu-bulu itu dan sesekali mencabutinya. Bangun,
kataku berbisik di telinganya. Lihat, matahari menyapa kita.
Bebek-bebek naik ke daratan dan mendekati, mematuk biji-biji tanah di
sekitarku. Aku melirik pelir pacarku yang kecoklatan. Kulit kendur, dan
seonggok penis layu di atasnya. Aku tertawa sendiri. Bebek-bebek
menyahut. Aku membelai penisnya, seperti membangunkan siput yang
bersembunyi di balik rumahnya. Penis yang kunamai siput itu bergerak
bangkit, bangun rupanya. Menegang, menantang, dan tersenyum
memandangku. Selamat pagi, kataku. Kamu lelah semalaman, memasuki liang
liurku. Dan rupamu yang menegang berjam-jam, kau harus menembus liangku
berulang-ulang.
Di tempat inilah kami biasa bertamasya melakukan
senggama. Tempat yang jauh dari mata-mata manusia yang mengutuk kelamin
orang dan kelaminnya sendiri. Pacarku lalu terbangun, matanya memicing,
bibirnya membentuk perahu, tersenyum seadanya. Liangmu nakal, katanya
sambil menggeliat dan memelukku. Apa jadinya vagina tanpa liang. Apa
jadinya tanpa lubang. Bagaimana menembusnya, katanya. Dan liurmu yang
berlumur di penisku, bagaimana Tuhan menciptanya.
Aku memetik
sekuntum bunga dan mematahkan putiknya, terlihat getah mengalir di
ujung patahannya. Seperti ini, kataku menunjukkan padanya. Dan aku
seperti ini, katanya sambil menjatuhkan serbuk sari bunga itu di atas
kepala putik. Kami tertawa renyah.
Kami sepakat bahwa kelamin
seperti sekuntum bunga dengan dua jenis kelamin di dalamnya. Benang
sari dan putik yang tak mungkin berpisah dari kelopak bunganya. Juga
warna-warna alam yang membiarkan kami melakukan senggama. Tak ada yang
melarang, membatasi, tak juga mengomentari.
Inilah kebahagiaanku
dengannya, kelamin-kelamin yang bahagia di malam hari. Kelamin juga
butuh kebahagiaan. Kami mengerti kebutuhan itu. Kelamin-kelamin yang
melepas jenuh, setiap hari tersimpan di celana dalam kami
masing-masing. Tak melakukan apa pun kecuali bersembunyi dan menyembur
air seni. Kelamin-kelamin yang menganggur ketika kami bekerja keras
mencari uang. Apalagi penis pacarku, ia terlipat dan terbungkus di
kantong sempaknya. Ketika mengembang ia menjadi sesak. Betapa
tersiksanya menjadi penis. Begitu pula vagina, wajahnya sesak dengan
celana dalam ketat nilon berenda-renda, tak ada ruang baginya.
Kelamin-kelamin hanya dibebaskan ketika kencing dan paling-paling
memelototi kakus setiap hari.
Kelamin kami memang tak boleh
terlihat, oleh binatang sekalipun. Meski pada awalnya mereka hadir di
dunia yang dengan bebasnya menghirup udara bumi. Sejak itu mereka
bersinggungan dengan benda-benda buatan manusia. Terutama ketika
dewasa, mereka semakin tak boleh diperlihatkan. Tak boleh terlihat mata
manusia.
Suatu hari, vaginaku memucat. Penis pacarku kuyu. Aku
heran, apa yang terjadi, kelamin yang tak bahagia. Aku dan pacarku
diam, suasana sepertinya tak lagi menghidupkan kelamin-kelamin yang
menempel di tubuh kami. Seandainya mereka bisa bicara apa maunya. Lalu
kami mencoba telanjang dan berbaring berpelukan di rerumputan. Kelamin
kami saling bertatapan. Tapi kami malah kedinginan. Tubuh kami
menggigil memucat. Angin malam pun datang, mengiris-iris tulang kami.
Ai! Pacarku, tiba-tiba penisnya hilang. Ke mana ia? Di sini, ia melipat
meringkuk tak mau muncul, kata pacarku. Vaginamu? Mana vaginamu?
Pacarku merogoh vaginaku, berusaha sekuat tenaga mencari lubang dan
liang, tapi tak ketemu. Mana lubangmu? Kok susah? Tanya pacarku. Ia
menutup sendiri, kataku. Lihat, senyumnya tak ada lagi.
Kami
berdua beranjak, kemudian duduk di dekat sungai, menjauh dari angin.
Tubuhku dan dia masih telanjang dan pucat di malam yang semakin pekat.
Kami terdiam. Diam saja sampai pagi.
***
Sudah lama aku tak
bertemu pacar. Entah mengapa, aku pun tak tertarik untuk bertemu.
Bahkan mendengar lolongan dan dengkur tidurnya. Serta dadanya yang naik
turun bila terserang nafsu. Aku sibuk bekerja beberapa minggu ini. Tak
pernah tertarik pula pada bebek-bebek, angin dan pohon yang biasa aku
dan dia temui di tengah senggama kami. Entah mengapa, ketika kubuka
celanaku tampak vaginaku pucat tak lagi menunjukkan senyumnya. Kutarik
celanaku dengan kasar, seperti ingin menyekap vaginaku yang tak lagi
ramah. Sial! Kataku. Aku merasa tak ada gunanya punya kelamin kecuali
untuk keperluan kencing. Aku kehilangan gairah, kulempar semua
berkas-berkas di meja kerjaku. Juga foto-foto di atas meja. Foto-foto
ketika kami bahagia. Dan foto-foto kelamin kami di dalam laci. Aku
melemparkannya hingga membentur dinding.
Kubuka kaca jendela
ruangan. Tampak tebaran gedung-gedung tinggi dan patung besar menjulang
di tengah kota dan jalan-jalan layang yang menebas di tengahnya. Tampak
pemukiman kumuh di baliknya dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu
gedung dan jalan yang menyala-nyala. Napasku sesak, seperti lama tak
bernapas. Kujambak rambutku sendiri, dan aku berteriak panjang
sekuat-kuatnya. Sampai aku lelah sendiri. Aku duduk di pojok ruangan,
memandang meja kerjaku yang berantakan. Duduk lama hingga bulan tiba.
Semua orang yang ingin menemuiku aku tolak. Aku mengunci pintu dan
mematikan lampu. Aku terserang sepi. Kehilangan motivasi. Aku tertidur
di atas kakiku sendiri.
Terdengar suara-suara merintih
memanggil-manggil. Suara sedih dan renta. Ia seperti datang dari udara
kota. Aku terbangun dan menajamkan pendengaran. Suara apa itu? Ia
ternyata hadir tak jauh dari dekatku. Aku mencari sumber suara itu.
Mana dia? Kutemui suara itu yang ternyata keluar dari vaginaku.
Kami
tak pernah diakui. Kami terus saja diludahi. Kami dinamai kemaluan,
yang artinya hina. Manusia tak pernah menghargai kami. Sama dengan
pelacur-pelacur itu. Segala aktivitas kami dianggap kotor.
Samar-samar
kudengar suara vaginaku yang aneh. Ia tak seperti suara manusia.
Kata-katanya seperti kayu yang lapuk dan lembab, yang sebentar lagi
akan dimakan rayap.
Bagaimana cara Tuhan memaknai kami? Kami pun buruk dalam kitab-kitab suci, lebih buruk dari setan dan jin.
Aku
mengelus vaginaku. Kubuka celanaku dan membiarkannya bernapas. Aku
bingung sendiri bagaimana ia bisa bicara. Itukah yang membuatmu pucat
selama ini?
Keningku berkerut. Setelah itu tak ada lagi suara.
Aku menatap vaginaku, seperti menatap mahluk hidup yang mati. Aku
menyalakan lampu. Aku membereskan berkas-berkasku yang berantakan di
lantai ruangan. Aku membuka kunci pintu dan keluar menuruni tangga, aku
ingin berjalan mengelilingi kota di hari menjelang larut. Tampak
orang-orang lalu-lalang dan beberapa seperti sengaja menabrak tubuhku.
Aku jengkel dan berteriak memaki mereka. Tiba-tiba datang suara-suara
seperti rayap yang merambat di balik kayu-kayu bangunan tua. Ampun,
suara apa lagi ini? Samar-samar aku seperti melihat orang-orang
telanjang dan berbicara dengan kelaminnya. Semua orang di kota ini
telanjang! Kelamin mereka megap-megap. Penis-penis menegang seperti
belalai gajah yang sedang marah dan melengkingkan suaranya.
Vagina-vagina memekik dan menampakkan kelentit-kelentitnya yang tak
lagi merekah. Liang-liang gelap vagina tampak menganga di depan mata.
Aku
tak kuasa mengendalikan kebingunganku. Aku tahu para kelamin sedang
meneriakkan batinnya. Aduh, manusia. Benar juga, bahkan tubuhmu sendiri
tak kau hargai. Aku ingin sekali membantu mereka. Bahkan
kelamin-kelamin yang sejenis dan bercinta setiap malam, dan
kelamin-kelamin yang telah diganti dengan kelamin jenis lain, aku
melihat jelas sekali kelamin para waria yang sedang berjoget di jalanan
itu. Kelaminnya menangis tersedu-sedu mengucapkan sesuatu.
Aku
lelah dan berhenti di sebuah taman kota. Aku duduk di bangku taman itu
sembari melihat patung telanjang yang menjulang di atasku. Penisnya
tampak dari bawah tempatku duduk. Aku melihat rupa patung itu yang
penuh amarah, dan penis besarnya yang tak lain adalah batu.
Pacarku, aku teringat pacarku. Di manakah pacarku.
Di sini!
Kaukah itu?
Tak
kuduga pacarku tiba mendatangiku dalam keadaan telanjang. Penisnya
seperti jari-jari yang sedang menunjuk. Penisnya menunjuk-nunjuk ke
arah kelaminku. Ternyata aku pun telanjang. Orang-orang di kota ini
telanjang tak terkecuali. Kulihat vaginaku megap-megap dan liurnya
menetes-netes. Pacarku lekas meraih tubuh telanjangku di taman itu,
memeluk dan menggendongku di bawah patung besar telanjang menjulang.
Matanya
menembus mata dan hatiku. Jarinya merogoh liang gelap vaginaku yang
sudah menganga. Pacarku sangat mengenal teksturnya. Liur yang melimpah.
Limpahannya membasahi jemarinya. Lalu ia mencabutnya dan menggantikan
dengan penisnya yang menembus. Kini kami bersenggama di tengah kota.
Kota di mana setiap orang telanjang dan tak peduli dengan ketelanjangan
orang lain. Auu! Pacarku kembali menjadi serigala melolong. Ia
menggigit seluruh tubuhku. Seperti anak anjing, aku menggapai sepasang
puting di dadanya dengan lidahku. Kami menyatu dalam tubuh dan kelamin.
Aku mengerti sekarang, kelamin pun punya hati. ***
RICKIE- Agak BEGO
- Jumlah posting : 131
Age : 46
Lokasi : KEMANG CITY
Registration date : 07.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
woy posting baru duonk klo emang mu naro beginian........
....ekA....yu....- Udah Sinting
- Jumlah posting : 1849
Age : 37
Lokasi : in the arms of the angel
Registration date : 08.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
berisik loe ka :-)) tinggal baca aza berisik banget loe
RICKIE- Agak BEGO
- Jumlah posting : 131
Age : 46
Lokasi : KEMANG CITY
Registration date : 07.11.08
Re: Kisah Burung Gagak
lol rickie salah posting tuh...
Harusnya masuk di new topics.. grrr lol
Harusnya masuk di new topics.. grrr lol
raja ku- Ngaco Lho!
- Jumlah posting : 763
Age : 44
Lokasi : didalam kaos kutang
Registration date : 23.11.08
Halaman 2 dari 2 • 1, 2
Halaman 2 dari 2
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik